Kebebasan Berekspresi: Pengaturan dan Pelaksanaannya
Kebebasan bagi jurnalis adalah satu bagian dari penghormatan terhadap kebebasan berekspresi yang disebutkan dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Di satu sisi, terdapat perlindungan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 19 KIHSP, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 23 UU HAM. Di sisi lain, terdapat perlindungan hak atas reputasi dalam Pasal 17 ayat (1) KIHSP, serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Perlindungan dua hak ini sering kali berwujud dalam pengaturan yang abu-abu, sehingga berujung pada tidak terpenuhinya hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dalam Pasal 19 ayat (3) KIHSP juga disebutkan bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi selama berkaitan dengan penghormatan terhadap hak atau reputasi orang lain dan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, serta kesehatan atau moral masyarakat. Dua tujuan pembatasan ini memiliki standar tertentu agar penikmatan terhadap hak atas kebebasan berekspresi tidak dirusak atau tidak terwujud. Mengutip Komentar Umum PBB No. 34 tentang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, ketentuan Pasal 19 ayat (3) KIHSP tidak dapat diartikan sebagai mandat bagi negara atau kelompok tertentu untuk membatasi hak yang justru menghancurkan hak yang telah diatur dalam kovenan tersebut. Jadi, kalau hendak membatasi suatu hak, negara memastikan bahwa tindakannya tidak membahayakan pemenuhan hak tersebut secara substantif.
- Pembatasan harus diatur oleh hukum atau undang-undang. Syarat ini terpenuhi apabila prosesnya terbuka dan dapat diakses oleh semua orang;
- Pembatasan harus memenuhi salah satu tujuan yang diatur pada Pasal 19 ayat (3) KIHSP. Berarti bertujuan untuk melindungi kepentingan yang sah serta tidak dimaksudkan untuk melindungi negara dan aparatnya dari opini dan kritik publik; dan
- Pembatasan harus dapat dibuktikan penting dilakukan dan cara-cara pembatasan seminimal mungkin dan diperlukan untuk mencapai tujuan utama (prinsip-prinsip kepentingan dan keberimbangan/proporsionalitas).
Sebagai catatan tambahan, dalam Komentar Umum PBB No. 34 disebutkan bahwa untuk pengaturan pencemaran nama baik, harus dibuat hati-hati untuk tidak melanggar kebebasan berekspresi atau jika dianggap relevan, negara harus mendekriminalisasi tindak pidana tersebut. Selain itu, dalam pembatasan yang berkaitan dengan propaganda dan ujaran kebencian yang disebutkan dalam Pasal 20 KIHSP, juga harus ditafsirkan sesuai dengan batu uji yang ada yaitu Rabat Plan of Action. Merujuk pada Rabat Plan of Action, ada enam hal yang harus dijawab dalam melarang suatu perbuatan yaitu konteks, posisi & status, niat, kekuatan muatan, jangkauan dan dampak, kemungkinan potensi bahaya. Standar atau batu uji ini juga dapat diterapkan dalam menganalisis bentuk-bentuk pembatasan kebebasan berekspresi secara umum.
Sayangnya, panduan ini tampak tidak dipertimbangkan secara hati-hati oleh negara, sehingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyuarakan pendapatnya harus berhadapan dengan sistem peradilan yang membutuhkan banyak energi dan biaya. Misalnya proses persidangan kasus Fatia dan Haris yang selesai dalam 32 kali persidangan, di luar dari proses sebelum masuk ke pengadilan. Dalam catatan Komnas HAM, ada 18 dari 44 kasus pada 2021-2022 yang merupakan kriminalisasi atas kebebasan berekspresi. Sisanya adalah bentuk intimidasi, pengancaman dan teror.
Selain kasus pelanggaran secara umum, juga terdapat kriminalisasi hingga teror terhadap jurnalis. Pada 2023, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media. Dari angka itu, terdapat lima narasumber yang dilaporkan dengan UU ITE, KUHP, dan gugatan. Sementara itu, pada 2019-2020, tercatat 14 jurnalis dan satu media massa yang dilaporkan menggunakan UU ITE. Salah satunya adalah kasus Muhammad Asrul yang dipidana menggunakan tindak pidana pencemaran nama baik di ranah elektronik karena meliput dugaan korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan.
Kasus-kasus kriminalisasi jurnalis ini memang terkesan melampaui mekanisme yang ada. Sebagai produk pers, terdapat mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers yang berlaku secara khusus untuk pers. Dalam undang-undang ini, telah disebutkan mekanisme komplain seperti hak koreksi, hak jawab, serta pengaduan kepada Dewan Pers. Namun, dalam praktiknya terdapat kasus yang tidak masuk ke mekanisme ini dan tetap diproses oleh penegak hukum. Misalnya, kasus Muhammad Asrul yang diproses tanpa melalui mekanisme pers terlebih dahulu. Jadi, pada akhirnya ancaman kriminalisasi bagi jurnalis dan masyarakat pada umumnya sama saja.
Dua Tindak Pidana yang Juga Jadi Hantu Bagi Jurnalis
Saat membicarakan tentang kriminalisasi terhadap bentuk-bentuk ekspresi di Indonesia, yang paling sering muncul adalah Pasal pencemaran nama baik dan berita bohong. Pencemaran nama baik itu termasuk pula pencemaran nama baik terhadap Presiden, Wakil Presiden, serta Pemerintah. Ini juga terjadi dalam kasus-kasus jurnalis.
Pertama, tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27A UU ITE dan Pasal 310 KUHP (WvS). Sebelumnya, Pasal 27A diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang materi muatannya bukan hanya tentang pencemaran nama baik, melainkan segala bentuk penghinaan yang diatur dalam KUHP, misalnya fitnah maupun pengaduan palsu. Kasus-kasus yang diadili menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga cukup banyak: sejak 2016 sampai 2020 terdapat 286 kasus. Setelah diubah menjadi Pasal 27A UU ITE, bunyi pasalnya adalah:
Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Pasal ini sama dengan rumusan dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), hanya saja ditambahkan unsur “dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”. Ancaman pidananya lebih berat dibanding pencemaran biasa yang diatur dalam Pasal 433 KUHP Baru sebab memang diatur juga pemberatan apabila dilakukan di ranah elektronik dalam Pasal 441 KUHP Baru. Ketentuan ITE baru ini secara otomatis tidak akan berlaku lagi jika KUHP Baru berlaku pada 2026.
Dalam pasal ini, unsur penting yang harus dilihat adalah soal kesengajaan untuk menyerang kehormatan orang lain dan tujuannya adalah untuk diketahui umum. Dari sini, poin utamanya adalah soal niat atau memang sengaja untuk mempermalukan orang lain. Tetapi, dalam perkembangannya, ketika ujaran tertentu memang mengandung kebenaran, orang yang menyatakan hal tersebut tidak dapat dianggap telah mencemarkan nama orang lain. Hal ini diakui dalam SKB UU ITE. Selain itu, terdapat juga pembatasan jika memang dilakukan untuk kepentingan umum, misalnya mengungkap suatu kasus yang menyangkut dengan masyarakat luas. Atau untuk membela diri, misalnya membela diri karena dituduh mencuri dengan cara menyebut nama orang lain yang sebenarnya mencuri.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pertimbangan tentang terjadinya pencemaran nama baik ada pada perasaan orang yang menjadi sasaran suatu ujaran tertentu. Terlepas subjektivitas dari suatu ujaran yang bisa dianggap mencemarkan atau tidak, adalah keliru jika menggunakan perasaan orang lain sebagai dasar menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana pencemaran. Yang harus dicek adalah adanya niat jahat untuk mempermalukan orang atau melanggar hak atas reputasi orang lain.
Oleh karena itu, kasus-kasus yang berhubungan dengan pendapat, liputan tertentu, ataupun penilaian tertentu tidak selayaknya dilaporkan sebagai tindak pidana. Dalam doktrin yang berkembang, substantial truth, dinyatakan bahwa pada dasarnya pembebasan terhadap orang yang berkata jujur terjadi karena pernyataan tersebut hanya merampas reputasi dari pelapor yang sebenarnya memang tidak pantas. Khusus untuk kasus-kasus yang melibatkan pemberitaan di media massa, keberatan seseorang seharusnya diselesaikan melalaui mekanisme pers. Hal inilah yang sebaiknya dipahami bersama oleh siapa saja termasuk penegak hukum.
Kedua, penyebaran berita bohong atau tidak pasti. Awalnya berita bohong diatur dalam Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946. Selanjutnya diatur juga dalam UU ITE (termasuk perubahan terakhir yaitu UU No. 1 Tahun 2024). Selanjutnya, dalam KUHP Baru, berita bohong diatur dalam Pasal 263 dan 264. Sementara itu, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 dinyatakan bertentangan dengan hukum oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 78/PUU-XXI/2023.
Jika merujuk pada Penjelasan UU No. 1 Tahun 1946, Pasal 14 dan 15 adalah perluasan dari Pasal 171 KUHP (WvS) yang saat itu perlu untuk diperluas karena masih dalam masa pancaroba (konteks pasca kemerdekaan). Dalam penjelasan umumnya, diterangkan alasan perubahan itu dilakukan di luar KUHP yaitu, memperhatikan konteks yang ada pada 1946 serta belum dapat ditetapkan dengan pasti apakah masih dibutuhkan di kemudian hari. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan tentang berita bohong atau tidak pasti ini bisa saja dihapuskan jika kondisi-kondisi yang terjadi pada masa setelah kemerdekaan sudah normal. Selain itu, konteks lain bisa saja berpengaruh yaitu, mekanisme koreksi atau hak jawab yang belum bisa secepat sekarang. Teknologi informasi yang belum berkembang dapat saja berpengaruh terhadap koreksi berita atau suatu kabar yang disiarkan.
Namun, saat KUHP diperbarui, tindak pidana ini justru dimasukkan kembali. Berikut ini adalah rumusan pasalnya.
Pasal 263
- Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
- Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 264
Setiap Orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Pengaturan ini tentu membutuhkan penafsiran yang jelas agar penerapannya tidak serampangan. Untuk Pasal 263 ayat (1), pelaku harus benar-benar mengetahui apa yang disebarkan adalah bohong dan berujung pada kerusuhan di masyarakat. Atau mensyaratkan adanya niat jahat untuk menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Sementara itu, Pasal 263 ayat (2) hanya mensyaratkan kemungkinan kalau orang yang mengetahui itu tahu bahwa yang disebarkan adalah bohong. Selanjutnya, dalam pasal 264 adalah kabar yang tidak pasti atau memang sudah dikurangi sedemikian rupa dan penyebarnya juga tahu akan hal itu.
Dari tindak pidana ini, pada akhirnya yang harus dibuktikan adalah apakah penyebar kabar atau berita memang mengetahui apa yang disebarkan tersebut tidak benar serta diniatkan untuk menimbulkan kerusuhan. Dalam konteks yang lebih detail, yang perlu dipertimbangkan adalah: Pemahaman pelaku tentang kabar atau berita yang disebarkan; subjek yang dituju misalnya jika kabar atau berita itu disebarkan kepada masyarakat yang mudah terprovokasi, sehingga harus dicek juga kelanjutannya berupa ada atau tidaknya kerusuhan yang ditimbulkan; dampak dari berita yang disebarkan; kerugian yang ditimbulkan; serta potensi bahaya yang harus jelas apakah kabar atau berita yang disebarkan mengandung bahaya yang segera terjadi dan menargetkan kelompok tertentu.
Persoalan Lain yang Juga dapat Mengancam Jurnalis
Dalam KUHP Baru, terdapat tindak pidana tentang mengganggu dan merintangi proses peradilan. Salah satu perbuatan yang masuk dalam kategori ini adalah mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf d dengan ancaman pidana denda kategori II. Merujuk pada penjelasan pasalnya: yang dimaksud dengan “memublikasikan proses persidangan secara langsung” yaitu live streaming. Serta disebutkan pula bahwa ketentuan ini “tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan memublikasikannya setelah sidang pengadilan”. Dalam aturan ini, seseorang baru akan diproses pidana apabila liputan secara live streaming dilakukan tanpa izin terlebih dahulu kepada pihak pengadilan atau Hakim yang memeriksa perkara di persidangan. Selain itu, tindak pidana ini adalah delik aduan yang harus diadukan secara tertulis oleh hakim.
Selanjutnya, terdapat juga rencana perubahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Secara umum, permasalahannya terletak pada perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia yang juga mencakup platform digital, sehingga bukan hanya televisi. Akan tetapi, terdapat ketentuan baru mengenai Standar Isi Siaran (SIS). Berdasarkan draf 27 Maret 2024 (versi bahan rapat Baleg), SIS adalah “standar atas Isi Siaran dan Konten Siaran yang berisi tentang batasan, larangan, kewajiban, dan pengaturan Penyiaran, serta sanksi berdasarkan P3 yang ditetapkan oleh KPI”. Ketentuan lanjutan tentang SIS ini lalu diatur dalam Pasal 50A sampai 50F. Dalam perubahan dan penambahan ketentuan baru ini, tidak terdapat jenis tindak pidana baru.
Yang ada adalah adanya pelarangan yang diancam dengan sanksi administratif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50B ayat (2). Salah satu tindakan yang akan dilarang adalah “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”. Adapun sanksi administrasi yang dapat dikenakan adalah: (a) teguran tertulis; (b) pemindahan jam tayang; (c) pengurangan durasi Isi Siaran dan Konten Siaran yang bermasalah; (d) pengaturan penggantian judul dan/atau alur cerita; (e) penghentian sementara Isi Siaran dan Konten Siaran yang bermasalah; (f) denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; (g) penghentian Isi Siaran dan Konten Siaran yang bermasalah; dan/atau (h) rekomendasi kepada Pemerintah untuk mencabut IPP.
Walaupun tidak diancam dengan pidana, adanya rencana pelarangan ini berkaitan erat dengan hak atas kebebasan berekspresi serta hak atas informasi. Hak ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 19 KIHSP, Pasal 14 UU HAM, serta Pasal 28F UUD 1945. Penyensoran informasi tertentu oleh negara secara langsung menunjukkan watak dari negara tersebut untuk membendung kritik. Tidak ada rasionalisasi yang jelas tentang mengapa penayangan produk investigasi ini mesti dilarang. Sesuai dengan apa yang saya sebutkan sebelumnya, pelarangan terhadap perbuatan tertentu yang berhubungan dengan hak-hak yang diatur dalam KIHSP, haruslah dapat diuji alasannya dan sesuai dengan tujuan pelarangan yang diperbolehkan.
Dengan melihat permasalahan ini, kita bisa sepakat bahwa kriminalisasi dan tindakan lain yang menghalangi kebebasan berekspresi di Indonesia masih terus terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada jurnalis. Terlepas dari pelarangan baru dalam RUU Penyiaran, kriminalisasi menggunakan tindak pidana penghinaan ataupun berita bohong masih menghantui kita semua. Termasuk jurnalis.
Catatan
Tulisan ini disampaikan dalam acara “Pelatihan Keamanan Holistik bagi Jurnalis NTT” pada 17 Juli 2024, yang diselenggarakan oleh PPMN, HRWG, dan TIFA di bawah Program Jurnalisme Aman. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pemantik diskusi bersama dalam acara.