Skip to content

Cerita Warung Kopi 2: Jadi mau ternak apa?

Saya suka menghabiskan waktu barang dua sampai tiga jam di Warkop yang juga saya tahu dari teman. Harga kopi susunya masuk akal. Tapi, kata teman yang awalnya mengajak saya ke sana, komposisinya kurang seperempat sendok dibagi dua. Sumpah, saya tidak tahu ini angkanya jadi berapa. Sudah enak memang. Tapi kalau ditambah kopi sekitar seperempat sendok dibagi dua saja, sudah pas itu campuran kopi dan susunya. Pokoknya sudah oke. Kira-kira begitu kata teman saya.

Saya tidak begitu peduli soal timbang-menimbang campuran kopi dan susu per gelas ini. Intinya, saya dapat tempat yang bisa untuk buka laptop atau sekadar bengong sepanjang malam. Atau sekadar menguping cerita di meja sebelah yang sepertinya selalu seru. Kalau bahas bisnis, selalu untung. Tidak ada dari cerita mereka yang rugi. Yang ada untung banyak, sampai miliaran. Ide-ide bisnis inilah yang saya dengarkan ketika datang lagi ke warkop itu.

Sabtu malam lalu, saya datang jam delapan lewat seperempat. Langsung ke meja kasir yang di dinding belakangnya telah tertempel menu yang tersedia. Lengkap dengan harganya. Papan menu ini berukuran sekitar satu kali setu setengah meter, terbuat dari triplek yang dicat hitam dengan balok ukuran kecil di setiap sisinya. Menunya ditulis pakai kapur. Mungkin kapur cap Sarjana, yang versi warna-warni. Untung tulisan tangannya bagus. Jangan-jangan memang ini alasan mengapa yang punya memilih menulis menu dengan tulisan tangan sendiri. Semoga begitu.

“Cokelat panas saja satu om, nanti saya bayar. Saya duduk di samping nah.”

“Oke.” Kasir sekaligus orang yang punya warkop ini mengiyakan. Tersenyum sedikit lalu mencatat pesanan saya di balik kertas minyak—kertas pembungkus makanan. “Nanti saya antar daeng.”

Saya berjalan ke luar membelakangi meja kasir. Belok sedikit ke kanan, duduk di bangku paling pojok. Tak jauh dari dua meja di sebelah kiri yang di sana sudah ada empat orang laki-laki. Kalau saya lihat sekilas, umurnya mungkin 35 tahunan. “Nanti saya mesti jemput istri dan anak di Bandara”. Kata laki-laki yang baju hitam berkepala botak. Dari lipatan kecil di ujung celana jeans-nya serta jaket denim yang dia lepas, saya menduga kalau dia tertarik dengan Skinhead atau paling tidak suka SKA.

Tiga laki-laki di depannya juga pakai kaus hitam. Tampaknya selera musik mereka hampir sama. Kalau bukan metal ya rock 80 sampai 190-an. Bahkan mirip dengan gaya personel band metal yang hijrah. Memanjangkan bulu janggut dan sudah menghindari minuman keras. Yang pasti tidak sekeras orang-orang yang memilih untuk tidak mendengarkan musik dengan dasar bahwa musik haram. Pandangan ini tidak bisa disalahkan. Ini urusan keyakinan. Jadi, kita lanjut saja ke pembahasan empat orang itu. Agar lebih mudah ketika menceritakan ulang diskusi mereka, saya namai saja bapak yang gaya Skinhead sebagai Beni. Bapak yang suka metal dan berkacamata sebagai Rudi. Bapak rock satu lagi, yang suka mengoleksi jam tangan sebagai Doni. Dan bapak metal satunya, yang memakai kaus Megadeath sebagai Salim.

Saya kira Beni akan langsung meninggalkan meja ketika bilang kalau akan menjemput anak dan istrinya. Ternyata tidak, Ia justru melempar isu. “Saya rencana bikin peternakan kambing di Bogor. Sisa cari desain kandang dan referensi cara merawat kambing”.

“Kenapa nggak ternak jangkrik? Rudi bertanya lagi kepada Beni. Tidak sambil ketawa, mungkin memang pertanyaan serius. “Ada yang ternak jangkrik dan bisa untung sampai empat miliar.” Ia melanjutkan.

Saya menutup buku kumcer tulisan Ida Fitri berjudul “Neraka yang Turun Ke Kebun Kelapa”, ketika mendengar keuntungan EMPAT MILIAR dari usaha yang terdengar aneh. Beternak Jangkrik.

Dibanding cerita pertama Ida Fitri di kumcernya itu, tentang petani yang nasibnya berbalik menjadi kaya setelah menanam ganja, saya kira memelihara jangkrik ini lebih masuk akal. Kita tidak perlu berurusan dengan polisi dan bayang-bayang hukuman jika kedapatan menjual ganja yang berat. Bisa hukuman mati. Jadi petani sekaligus bandar ganja sepertinya memang bisa cepat kaya. Tapi kalau ditangkap bikin tersiksa dua kali. Sial karena dijatuhi hukuman mati. Lebih sial lagi karena harus menunggu puluhan tahun di penjara ketika menunggu jadwal eksekusi.

“Atau, kalau mau, lu ternak belatung aje. Lumayan juga itu untungnya. Ada yang bisa dapat jutaan juga.”

Ide Doni ternyata lebih liar dari Rudi. “Harganya nyampe 40 ribu sekilo.” Ia terdengar berusaha meyakinkan dengan menyebut harga jual.

Saya makin penasaran dengan percakapan mereka. Saya masukkan buku Ida Fitri tadi ke dalam tas. Saya keluarkan buku catatan. Ini peluang bisnis yang bagus. Toh saya dan beberapa teman juga ingin buka peternakan. Sempat juga bikin kolam nila yang rencananya menggunakan belatung sebagai salah satu pakannya.

Baru saja saya ingin mencatat ide-ide mereka dengan serius. Salim justru menimpali. “Sudahla, mending ternak kambing. Kalau ternak jangkrik atau belatung, dibayangkan saja sudah ribet.”

Benar juga kata bapak satu ini. Saya ingat ketika teman-teman bikin kolam untuk nila. Mereka sudah belajar cara budidaya belatung. Atau peternak ikan biasa menyebutnya magot. Teman-teman di kampungku, di Bantaeng, sudah ambil kursus singkat soal ini. Mereka datang ke rumah Ramli yang memang mengembangkan magot untuk pakan ikan pribadi. Tapi, setelah itu, teman-teman memilih dedak atau sisa makanan saja untuk pakan ikan. Ikannya masih hidup sampai terakhir saya bertanya pada Januari 2024 lalu. Tapi tidak bisa dijadikan usaha bersama. Sudahla.

“Kalau lu punya lahan di sekitaran Sawangan, bisa tuh bangun peternakan kambing. Atau sewa aja lahannya. Terus bangun kandang di sana. Soal pakan bisa beli dan nggak jauh juga dari penghasil pakann.” Salim melanjutkan usulannya agar lebih meyakinkan.

Beni mengangguk tapi lanjut menimpali. “Tapi kalau kandangnya dari pipa besi sudah pasti kuat lah ya?”

 “Yang bener aje!”.

Saya hampir saja teriak seperti itu. Tapi saya urungkan dan hanya bisa teriak dalam hati. Ini bahan kandang paling brilian yang pernah saya dengar. Saat saya dan teman-teman di kampung ingin bikin kandang dari kayu, permasalahan modal sudah menghantui. Harga kayu juga mahal. Makanya sampai sekarang hanya bisa bikin satu kandang yang bisa muat enam ekor kambing. Tapi, kandang dari pipa besi jelas kuat dan tahan lama. Paling kau hanya khawatir dengan karatan pada besi. Soal rayap, tidak perlu dipikirkan. Toh rayap sejauh ini, sesempit pengetahuan saya, belum bisa makan besi.

“Ohh, kalau pake besi ya kemahalan bro. Berat di ongkos. Mending pakai baja ringan, lebih murah juga bahannya. Dan, ya, tahan lama. Kalau hanya khawatir soal rayap, baja ringan masih oke.” Doni menyanggah.

Kali ini idenya lebih masuk akal dibanding ternak belatung. Saya sepakat dengan ide ini. Saya harus catat. Alternatif baja ringan untuk rangka kandang ini cocok untuk rencana saya dan teman-teman di kampung. Butuh uang juga memang, tapi nanti kami pikirkan. Saya catat saja dulu.

Beni sepakat dengan baja ringan. “Duluan ya, mesti ke bandara”. Rupanya Ia tidak hanyut dalam diskusi rencana bisnisnya itu. Ide ternak kambing tidak berlanjut.

Ketika Ia pergi, topik pembahasan sudah berganti. Masuk ke rencana daftar antrean calon haji. Yang ini tak perlu saya tulis.