SAAT ITU, 8 OKTOBER 2005, gerimis yang menjadi sisa-sisa hujan deras sejak pagi masih terus turun dan entah kapan akan berhenti. Tapi, hujan tak menghalangi kunang-kunang untuk keluar di malam hari. Ada 24 ekor kunang-kunang beterbangan di sekitar pohon cengkeh di depan rumahnya saat waktu sudah menuju pukul sembilan malam. Cahaya kuning berkelap-kelip dari badannya tampak redup terhalang gerimis dan malam yang sedikiti berkabut.
Dalam malam yang membosankan itu, Ia berniat menangkap beberapa ekor kunang-kunang yang nantinya dimasukkan ke toples plastik bekas permen. “Itu bisa jadi alternatif pencahayaan malam hari saat mati lampu, atau setidaknya jauh lebih bagus daripada lampu kaleng yang asapnya bikin hidung jadi hitam di malam hari.” Begitulah yang ia pikirkan waktu itu. Tapi sial, rencana eksperimen yang menurutnya menyenangkan batal karena larangan Neneknya.
“Mau ke mana? Tidak usah turun tangga, masih hujan. Nanti sakit kepalamu.”
“Saya mau tangkap kunang-kunang”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“Kunang-kunang itu dari kuku orang mati. Jangan ditangkap, nanti kau sakit karena ditegur yang punya kuku.”
“Tidak apa.”
“Kalau kau sakit, rumah sakit jauh.”
Ia urungkan niatnya tangkap kunang-kunang. Bukan karena soal rumah sakit jauh menurut neneknya. Tapi, karena kunang-kunang terbikin dari kuku orang mati. Ia tidak bertanya lagi lebih jauh soal kenapa kunang-kunang bisa tercipta dari orang mati. Padahal dia juga tahu kalau orang mati pasti dikubur dan selang beberapa hari kemudian, kuburannya ditambah bata di setiap sisinya. Ia percaya saja apa kata Nenek.
Kepercayaannya bahwa kunang-kunang tercipta dari kuku orang mati terus menemainya sampai SMA. Ia tidak pernah mempertanyakan itu, walau sejak SD sampai SMA ia belajar Ilmu Pengetahuan Alam.
Seiring waktu, kunang-kunang dan kuku orang mati itu memudar lalu lenyap dari ingatannya bersama kunang-kunang yang sekarang tidak lagi beterbangan di pohon cengkeh depan rumahnya. Ia sendiri lupa, kapan terakhir kali ia melihat kunang-kunang beterbangan di sekitar rumahnya. Yang pasti, saat ia pulang setelah sekian tahun, tak ada lagi kunang-kunang. Setiap hari pasti ada orang mati, tapi kenapa kunang-kunang justru tidak muncul lagi? Entahla, ia memilih untuk tidak memikirkan itu. Toh, semuanya memang punya waktu untuk datang atau pergi.
DI PASAR MINGGU, tempat yang berjarak 1.670 kilo meter dari kampungnya, gerimis turun pada sore hari di 8 Oktober 2022. Ia duduk di teras kontrakannya sambil membaca kumpulan cerpen karya Umar Kayam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” cetakan ketiga dari penerbit Pojok Cerpen. Sebuah kumpulan cerita yang sudah berulang kali ia baca, tapi menurutnya masih menarik dibaca ulang. Padahal, masih banyak buku yang ia beli dan belum dibuka sama sekali.
Memasuki cerita keempat di halaman 51, Secangkir Kopi dan Sepotong Donat, nyeri di lambungnya mendadak muncul. Selang beberapa detik, keringatnya keluar padahal saat itu sedang hujan dan udara tidak begitu panas seperti biasanya. Ia meletakkan bukunya di kursi lalu perlahan berjalan menuju kamar mandi. Ia menaiki tangga dengan langkah yang berubah-ubah, dari satu anak tangga menjadi dua anak tangga sekaligus dalam sekali melangkah. Di kamar mandi, ia mengarahkan kepalanya ke kloset.
Ia tiba-tiba membungkuk dengan suara seperti ada yang sedang menendang bagian lambungnya. Ia tiga kali muntah. Cairan warna cokelat dan gelembung semacam busa sabun mandi keluar dari mulutnya. Itu mungkin kopi yang ia minum tapi belum diolah di dalam lambungnya. Beberapa saat ia terus membungkuk sampai air matanya tak sengaja menetes. Setelah merasa kalau tidak akan muntah lagi, ia perlahan menaikkan kepalanya.
Tapi, sial, saat ia arahkan kepalanya ke depan dengan bada yang ia paksa tegak, warna dinding kamar mandi yang awalnya biru justru berubah menjadi hitam. Ia berusaha meraba dinding agar badannya tetap tegak. Satu menit kemudian, pandangannya tetap gelap. Cahaya kuning kelap-kelip seperti kunang-kunang yang ia lihat di depan rumahnya 17 tahun yang lalu, ada di depan matanya. Namun, ia tak mungkin menangkap cahaya kelap-kelip itu walau orang yang mungkin melarangnya sudah tiada.
Pasar Minggu, 10 Oktober 2022
Ilustrasi: Nur Ansar