Masih ada beberapa (atau banyak?) masalah dalam RKUHP kita. Salah satunya adalah hidup bersama di luar perkawinan yang dikategorikan sebagai zina. Ini bukan masalah sepele. Ini pidana. Orang yang melanggar, jika terbukti, pasti dihukum. Sebelum RKUHP disahkan, sebaiknya kita pikir-pikir dulu, walaupun itu dosa, haruskah perbuatan hidup bersama di luar perkawinan dipidana?
Memang, dukungan perluasan makna zina—memasukkan perbuatan hidup bersama—dalam RKUHP cukup besar di kelompok agama. Misalnya MUI yang setuju dengan perluasan makna zina. Menurut komisi hukum MUI saat diwawancarai Detik.com (21/9/2019) itu memang menjadi salah satu usulan mereka sebagai bentuk perlindungan terhadap wanita dan anak.
Jauh sebelumnya, Widayati dalam artikelnya “Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta,” sepakat dengan perluasan makna zina. Penelitiannya didasarkan pada wawancara dengan pemimpin adat dan pemuka agama.
Menurutnya, kriminalisasi perbuatan hidup bersama di luar perkawinan sudah memiliki dasar pembenar, misalnya pelanggaran terhadap nilai-nilai masyarakat; perbuatan tersebut bersifat anti sosial; kalau perbuatan menyimpang tersebut tidak segera diatasi, kemungkinan akan semakin banyak orang hamil di luar nikah, penyakit kelamin, dan AIDS, yang pada akhirnya merusak moral bangsa.
Tapi, banyak juga pihak yang menolak perluasan makna zina, Sekar Aji dari ELSAM dikutip dari Tempo (20/9/2019) menganggap pasal dalam RKUHP ini, termasuk zina, multitafsir. Ia juga mengutip riset Koalisi 18+ pada 2016 yang menemukan bahwa 89 persen permohonan perkawinan anak adalah orang tua dengan alasan anaknya akan berzina.
Selain itu, menurut dia, tingginya angka perkawinan anak berdampak pada meningkatnya angka putus sekolah dan kematian ibu karena sistem reproduksi dari anak perempuan yang menjadi calon ibu belum mumpuni untuk persalinan. Memasukkan hidup bersama sebagai bentuk zina dengan delik aduan, berarti membuka peluang meningkatnya angka perkawinan anak.
Dalam berita yang sama, pakar hukum, Anugerah Rizki Akbari, menganggap bahwa delik ini menarik ke ranah publik suatu urusan yang sebenarnya privat. Misalnya, ketika orang tua melaporkan anaknya karena hidup bersama di luar perkawinan. Pun dengan anak yang bisa melaporkan orang tuanya karena zina. Akhirnya, privasi kita terancam dengan munculnya pasal tersebut.
Kalau kita menyingkirkan ego dalam diri lalu membaca riset-riset perkawinan anak dan persoalannya, mungkin kita bisa mempertimbangkan ulang dukungan terhadap perluasan makna zina. Kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa zina membuat penderita AIDS meningkat tanpa bukti yang kuat. Kita butuh kajian ilmiah agar penegakan hukum dalam bidang kesehatan juga ilmiah.
Setelah melihat pandangan pro dan kontra perulasan makna zina dalam RKUHP, kita juga perlu mengkaji pasal zina dalam KUHP. Kenapa perbuatan dosa yang satu ini tidak dikategorikan sebagai zina oleh perumus awal KUHP. Tentu kita perlu melihat konteks atau kapan KUHP dirumuskan.
KUHP pertama kali disahkan dan berlaku di Indonesia (saat itu Hindia) pada 1915. Ini memang produk hukum dari Belanda yang dibuat setelah mereka terbebas dari penjajahan Prancis. Produk yang saat itu disahkan menjadi KUHP untuk Hindia Belanda, disusun pada 1881. Menurut Topo Santoso dalam tulisannya “Menjadi Negeri Tanpa KUHP Sendiri”, KUHP yang berlaku di Indonesia saat itu, direvisi oleh Pemerintah Belanda tak kurang dari 82 kali sejak 1918.
Saat itu, feodalisme dan patriarki masih sangat mengakar. Gerakan perempuan menuntut persamaan hak, baru masif pada era 1950-an. Sebelumnya, memang terdapat gerakan perempuan di Amerika pada 1848 dan 1874 tapi, belum menyeluruh seperti sekarang. Jadi, ketika membaca KUHP yang sekarang berlaku, khususnya perkosaan dan zina, jelas bias gender. Misalnya delik perkosaan dalam pasal 285 KUHP, yang menjadi pelaku haruslah laki-laki sementara korbannya harus perempuan. Padahal keduanya bisa menjadi korban. Sementara, perbuatannya baru dikatakan perkosaan, jika terjadi penetrasi penis ke dalam vagina.
Pasal 284 KUHP menyatakan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sederhananya, suatu perbuatan dikategorikan zina jika dilakukan oleh seorang yang sudah menikah dengan orang lain, yang tentu saja bisa suka-sama suka. Jika terdapat paksaan, seharusnya masuk kategori perkosaan.
Karena ini dalam konteks hubungan perkawinan, berarti perbuatan tersebut menyerang sebuah lembaga perkawinan, atau keluarga. Konsekuensinya jelas, jika terjadi zina, hubungan perkawinan bisa rusak. Jadi, adanya delik perzinaan tersebut bertujuan untuk melindungi lembaga perkawinan atau keluarga.
Kalau dalam RKUHP, pengertian zina diperluas, jelas perlu kita pertanyakan. Perbuatan hidup bersama seperti suami istri, tidak menyerang lembaga perkawinan. Mereka bukan pasangan yang salah satunya atau keduanya sudah terikat perkawinan dengan orang lain. Kalau khawatir tentang AIDS, seharusnya didasarkan pada riset ilmiah tentang hubungan antara perbuatan hidup bersama dengan meningkatnya penderita AIDS. Riset itu juga mungkin bisa memberi jawaban, apakah dengan memperluas definisi zina dalam RKUHP dapat menjadi solusi atas peningkatan penderita AIDS.
Memang dalam agama Islam, hidup bersama tanpa adanya ikatan perkawinan adalah perbuatan dosa. Tapi, kita tidak seharusnya menjadi pihak yang mengadili perbuatan tersebut. Biarkan Tuhan yang mengadilinya pada hari perhitungan kelak.
—–
Ilustrasi: Deon Black (Unsplash)