Pada Rabu, 15 Januari 2020, saya bersama dua orang teman, Ali Rahangiar dan Muh. Adhar, berkunjung ke LPKA Jakarta di Cinere, Gandul. Kami bertemu dengan Pembina LPKA atas nama Luthfi dan Anin. Mereka berdua adalah bagian Hubungan Masyarakat, Mitra, dan Kerja Sama. Mereka menceritakan program pembinaan di LPKA Jakarta, di kantin LPKA yang tempatnya tepat di depan kamar Anak Didikan Lapas (Andikpas).
Ada 76 orang Andikpas di LPKA Jakarta, semuanya laki-laki. Saat kami berkunjung, LPKA Jakarta belum menerima anak yang berada di Kejaksaan dan Kepolisian, karena masih baru dan belum diresmikan. Untuk anak perempuan, ditempatkan di Rutan khusus wanita Pondok Bambu. Ada juga anak perempuan yang ditempatkan di LPKA Tangerang, karena di sana lembaganya sudah bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di Rutan Pondok Bambu, anak perempuan yang sudah diputus dan menjalani hukuman, biasanya dipindahkan ke Tangerang.
Anak-anak tersebut menempati gedung dua lantai yang menghadap langsung ke pos jaga. Desain bangunan seperti ini tampaknya memang sudah menjadi ciri khas lembaga pemasyarakatan. Gedung tersebut sudah dibagi menjadi kamar-kamar. Setiap kamar dihuni oleh 6 sampai 7 orang anak.
Berapa luas kamarnya? Intinya cukup untuk 6 sampai 7 orang. Ranjang yang digunakan adalah ranjang tingkat, jadi cukup untuk 6 sampai 7 orang. Alas tidurnya bukan matras tapi, kasur. Menurut Luthfi dan Anin, fasilitas tersebut digunakan sesuai standar yang intinya membuat anak seolah-olah bukan dalam penjara.
LPKA memang didesain khusus sebagai tempat pembinaan, hingga pendidikan dan pelatihan yang sifatnya wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (2) dan (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berdasarkan Pasal 81 UU SPPA, anak yang dijatuhi pidana penjara, ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) apabila perbuatannya akan membahayakan masyarakat. Namun, apabila di suatu daerah belum terdapat LPKA, anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa (penjelasan Pasal 85 ayat (1) UU SPPA).
Program pembinaan anak selama di LPKA, ditetapkan sesuai dengan hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Hasil penelitian Pembimbing Kemasyarakatan juga digunakan dalam penyidikan hingga di Pengadilan. Setelah ditetapkan program pembinaan selama di LPKA, Bapas wajib mengawasi pelaksanaan program yang sudah ditetapkan tersebut (Pasal 85 ayat 5).
Akan tetapi, anak yang ditempatkan di LPKA, hanya maksimal berumur 18 tahun. Apabila Anak tersebut umurnya sudah melewati 18 tahun tapi, belum selesai menjalani proses pembinaan atau pidananya, dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Pemuda (pasal 86 ayat 1). Bila di suatu daerah tidak terdapat Lapas Pemuda, anak dipindahkan ke Lapas Dewasa sesuai dengan rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat 3 UU SPPA.
Lalu bagaimana praktik pembinaan anak di selama di LPKA?
Saat kami berkunjung, LPKA Jakarta belum menjalankan program pembinaan. Oleh karena itu, anak didikan di sana hanya berada di depan pintu kamarnya, sambil memperhatikan kami yang dari pukul 12.00 siang hingga 13.30-an, berada di kantin menunggu narasumber. LPKA Jakarta akan mulai menjalankan program pada Februari 2020, karena baru dipindahkan dari Salemba ke Cinere, serta sedang menunggu serah terima jabatan pimpinan yang baru.
LPKA Jakarta, biasanya bekerja sama dengan Yayasan atau Lembaga dalam menjalankan program pembinaan. Kerja sama tersebut disesuaikan dengan kebutuhan selama pembinaan. Misalnya dari PKBI bekerja sama untuk membuat kerajinan tangan atau kesenian. Sementara lembaga atau yayasan lain, diminta untuk bekerja sama dalam program yang lainnya. Selain itu, ada juga kerja sama dengan Universitas untuk program pembinaan.
Pengklasifikasian pembinaan di LPKA, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi atau rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan atau Bapas. LPKA hanya menjadi tempat pembinaan. Dengan kata lain, apa pun yang direkomendasikan oleh PK atau Bapas, maka itu yang dijalankan. Walau demikian, menurut Luthfi dan Anin, anak di LPKA Jakarta tidak dipaksa untuk selalu sesuai dengan rekomendasi. Misalnya anak tersebut tertarik untuk melukis, silakan ikut kegiatan melukis. Rekomendasi program pembinaan menjadi patokan utama, tapi juga terbuka untuk usulan dari Andikpas.
Terdapat berbagai macam program pembinaan. Mulai dari kerajinan tangan, kesenian, religi, dan tentu saja pendidikan. Pendidikan tersebut diberikan di sekolah yang juga berada di wilayah LPKA. Untuk program pembinaan itu, intinya membuat anak menjadi baik. Salah satu program yang kami dengar adalah mengaji.
Selain mereka, kami juga bertemu dengan dua orang Andikpas (nama dirahasiakan) dan bertanya apa saja kegiatannya di LPKA selama dua minggu pertama. Satu orang dipidana karena tawuran, yang satu lagi karena menggunakan ganja. Jawabannya sama, membersihkan kamar dan mengaji. Ibarat template, tujuan dari program-program tersebut menurut dua anak itu adalah membuat mereka bisa lebih baik ke depannya.
Apabila selesai menjalani pembinaan di LPKA Jakarta, apa yang akan dilakukan setelahnya? Dua anak tersebut mengatakan, mereka tidak akan mengulangi perbuatannya. Apa yang mereka lakukan sebelumnya, salah. Sehingga ke depannya, mereka akan melakukan hal-hal yang baik. Tanya jawab ini berlangsung singkat dalam ruangan baru di samping masulah dan tentu saja tetap dalam pengawasan Luthfi.
Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kalau seorang anak yang telah selesai di LPKA benar-benar tidak mengulangi perbuatannya? Apakah ada evaluasi dari pihak LPKA setelah anak tersebut kembali ke masyarakat?
Menurut Luthfi dan Anin, evaluasi tersebut ada di PK atau Bapas. LPKA hanya menjadi tempat untuk pembinaan. Namun, selama ini ternyata anak yang sudah selesai menjalankan masa pembinaan, banyak yang kembali lagi dibina di LPKA. Menurut mereka, anak-anak tersebut mungkin tidak ada teman di masyarakat dan lebih suka berada di LPKA. Apa lagi, di LPKA disediakan makan gratis, pendidikan, serta sudah memiliki teman di sana.
Apa yang dijelaskan oleh Pembina LPKA Jakarta memang sudah sesuai dengan kewajiban negara agar memberikan pembinaan termasuk pendidikan kepada anak yang dipidana. Hanya saja, pertanyaannya adalah, apakah pembinaan atau program yang dijalankan sudah efektif? Jika mengacu pada banyaknya anak yang kembali dibina di LPKA Jakarta, bisa dikatakan bahwa pembinaan kurang efektif.
Pembinaan tersebut dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan atau Bapas. Pun dengan evaluasinya. Pihak LPKA mengatakan kalau evaluasi pasca pembinaan, merupakan bagian dari PK atau Bapas. Lalu bagaimana evaluasinya? Kami juga belum mendapatkan penjelasan. Yang kami wawancarai hanya Pembina Lapas, sehingga untuk mengetahui bagaimana proses evaluasinya, ke depan harus bertanya ke pihak PK atau Bapas.
Penerapan pembinaan di LPKA memang seharusnya dievaluasi. Bukankah pembinaan bertujuan agar anak tersebut menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya? Tujuan ini sebenarnya sudah dikatakan oleh Andikpas dan Pembina yang kami temui hari itu. Namun, kenyataannya justru berkata lain. Pembinaan tersebut kurang efektif.
Efektivitas pemidanaan ini hanya bisa ditemukan apabila terdapat penelitian yang lebih mendalam. Khususnya bagi pihak PK atau Bapas agar dapat mencegah anak mengulangi perbuatannya dan kembali dibina di LPKA. Saya kira pembinaan tersebut bukan membuat anak menjadi lebih senang berada di LPKA tapi, bertujuan untuk mencegah anak melakukan kejahatan.
Permasalahan secara umum justru ada pada penempatan anak yang tersebar di beberapa lembaga. Pernyataan dari pihak Pembina LPKA Jakarta, untuk saat ini bisa dibenarkan, mereka masih baru. Namun, bagaimana ke depannya? Apabila anak tersebut masih ada di Kepolisian, kejaksaan, dan Rutan khusus wanita, tentu saja pembinaan yang diberikan akan berbeda dari LPKA.
Jika pembinaan di LPKA saja belum efektif, bagaimana dengan yang ada di lembaga lain? Ini masalah yang seharusnya dicari solusinya. Evaluasi efektivitas pembinaan di LPKA, jika ada, seharusnya memberikan panduan rekomendasi kepada pihak Pembimbing Kemasyarakatan atau Bapas untuk pembinaan anak yang dikenai pidana nantinya. Agar ke depan, anak yang dibina di LPKA, tidak mengulangi perbuatan yang akhirnya kembali menjadi Andikpas.
Catatan:
Dietrbitkan pertama kali di nuransar.blogspot.com pada 28 Januari 2020. Diterbitkan kembali dengan penyuntingan.
Ilustrasi: Sinitta Leunen from Pexels