Senin, 23 Desember 2019, Presiden Jokowi Dodo meresmikan peluncuran Biodiesel 30 persen (B-30) di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta Selatan. Program tersebut adalah pencampuran 30% Biodiesel dengan 70% bahan bakar jenis solar. Dikutip dari Kompas,[1] Jokowi mengatakan kalau program tersebut diterapkan dengan alasan mencari sumber bahan bakar terbarukan sebagai pengganti energi fosil, sekaligus sebagai wujud dari komitmen bangsa menggunakan energi bersih untuk menurunkan emisi karbon. Program itu juga digunakan untuk melepas impor Bahan Bakar Minyak (BBM) terutama solar yang cukup tinggi. Serta akan menciptakan penggunaan minyak sawit—Crude Palm Oil (CPO)—domestik yang sangat besar.
Pemanfaatan CPO domestik juga akan menjadi jawaban atas perang dagang Indonesia dengan Eropa yang terjadi sekarang terkait CPO. “Kamu enggak beli apa-apa, saya pakai sendiri. Kamu enggak beli apa-apa, saya konsumsi sendiri di dalam negeri. Daya tawar kita menjadi lebih kuat,” kata Jokowi di SPBU MT Haryono (23 Desember 2019), dikutip dari CNBC.[2]
Pemanfaatan CPO domestik, seperti yang dikatakan oleh Jokowi saat meresmikan peluncuran B-30, bahwa akan menghemat devisa negara memang benar. Untuk program B-30 saja, jika berjalan maksimal, akan menghemat cadangan devisa hingga 63 triliun rupiah dari pengurangan impor solar.
Komitmen Pemerintah Indonesia menggunakan biofuel, dimulai sejak ditetapkannya payung hukum pengembangan biodiesel di Indonesia selama 25 tahun—terhitung mulai 2004. Payung hukum tersebut adalah Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Selanjutnya terbit pula Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tentang Pengadaan dan Penggunaan Biofuel sebagai Energi Alternatif, dan Dekrit Presiden nomor 10 tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Untuk Pengembangan Biofuel. Serta Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015.
Bahan baku utama biofuel Indonesia saat ini adalah minyak sawit mentah (CPO). Namun, masih ada sumber bahan baku lain misalnya jarak pagar (Jathropa Curcas). Bagi negara lain, seperti Amerika menggunakan minyak kedelai. Ada juga yang menggunakan jagung.
Dari Databox Katadata—diambil dari Kementerian ESDM dan APROBI—produksi biodiesel Indonesia meningkat pesat dari 2009 hingga 2018.[3] Produksi biodiesel pada 2009 sebanyak 190.000 Kilo Liter (KL), sementara pada 2018, meningkat menjadi 6,2 juta KL. Dari total produksi 2018, yang diekspor hanya 1,7 juta KL dan konsumsi dalam negeri sebesar 3,8 juta KL.
Pada 2019, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) mencatat, produksi biodiesel sebanyak 8.399.184 KL.[4] Sedangkan distribusi dalam negeri sebanyak 6.392.645 KL. Tahun 2019, ekspor biodiesel justru turun menjadi 1.319.428 KL. Tampaknya penurunan ekspor dipengaruhi oleh perang dagang antara Indonesia dengan Eropa terkait CPO.
Untuk produksi 2020, Indonesia menargetkan pengadaan biodiesel untuk campuran minyak solar sebanyak 9.590.131 kilo liter. Alokasi pengadaan tersebut diberikan kepada 18 perusahaan yang beroperasi di Indonesia, seperti Pertamina, Shell, dan Exxonmobil. Namun, Pertamina adalah perusahaan yang mendapatkan alokasi biodiesel terbesar pada 2020, sebanyak 8.382.300 kilo liter (selengkapnya lihat tabel 1).
Tabel 1. Alokasi pengadaan biodiesel 2020 berdasarkan Keputusan Menteri ESDM nomor 199 K/20/MEM/2019
Biodiesel yang akan digunakan Pertamina pada 2020, dipasok dari 18 perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan tersebut misalnya, Wilmar, Sinar Mas, Musim Mas, dan Tunas Baru Lampung (selengkapnya lihat tabel 2). Artinya, Pertamina, menerima biodiesel dari beberapa perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hak buruh, dan juga perusahaan yang melanggar standar NDPE dan P&C RSPO.
Tabel 2. Perusahaan pemasok biodiesel Pertamina 2020
Komitmen pemerintah untuk menggunakan biodiesel memang baik, tapi perlu memperhatikan aspek lain. Kebakaran hutan, deforestasi, pemenuhan hak-hak buruh perkebunan, hingga konflik agraria yang terjadi di perkebunan sawit jelas perlu diatasi oleh Pemerintah. Jika tidak, Pemerintah hanya sekadar memproduksi energi baru terbarukan, tapi gagal dalam mengurangi emisi serta memenuhi hak-hak masyarakat yang seharusnya dapat memperoleh manfaat dari program tersebut.
Persoalan yang terdapat pada perkebunan sawit seperti deforestasi, menjadi alasan Uni Eropa menolak membeli biodiesel dari Indonesia. Selain itu, European Federation for Transport and Environment (T&E)[5], menyatakan bahwa emisi yang dihasilkan minyak sawit saat produksi ternyata lebih besar dibandingkan energi fosil, salah satunya karena alih fungsi lahan; Eropa merevisi kebijakan energi dan mencabut dukungan terhadap biodiesel sawit; sertifikasi perkebunan sawit tidak menjamin keberlanjutan lingkungan karena belum memperhitungkan alih fungsi lahan hutan; serta industri sawit merupakan penyebab deforestasi terbesar di negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia.
Alasan-alasan dari Uni Eropa tersebut, sebenarnya sudah tercantum dalam kebijakan No Deforestation, No Peatland, and No Exploitation (NDPE) yang dibuat oleh perusahaan sebagai komitmen untuk keberlanjutan lingkungan. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai perusahaan di segala sektor industri kelapa sawit. Dalam revisi standar sertifikasi CPO, RSPO memperkuat kebijakan No Deforestation, No Peatland, and No Exploitation (NDPE) yang harus dipenuhi oleh anggotanya, termasuk di Indonesia.
Perusahaan pemasok biodiesel Indonesia 2020, juga banyak yang mengadopsi kebijakan NDPE. Namun, dalam proses produksi perusahaan, masih terdapat berbagai persoalan, termasuk pelanggaran terhadap kebijakan NDPE (persoalan ini kami bahas pada bagian penerapan kebijakan NDPE). Earthqualizer menemukan, sampai sekarang masih terjadi konflik, setidaknya di 100 grup perusahaan perkebunan sawit. Namun Earthqualizer juga menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kebijakan NDPE menunjukkan perubahan perilaku dan berkomitmen untuk menjalankan kebijakan itu.
Permasalahannya, apakah kebijakan NDPE tersebut dapat digunakan untuk mendorong perusahaan memproduksi biofuel berkelanjutan di Indonesia? Sebelum membahas lebih jauh, biofuel berkelanjutan dalam tulisan ini berarti bahan bakar nabati yang dihasilkan tanpa melanggar prinsip keberlanjutan lingkungan yang ditetapkan dalam NDPE, maupun kebijakan RSPO. Biofuel memang merupakan energi baru terbarukan yang dapat digunakan sebagai pengganti fosil. Namun, jika proses produksinya menyebabkan kerusakan hutan, merampas tanah, dan melanggar HAM, sama saja memperparah krisis iklim.
Kebijakan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE)
No Deforestation, No Peatland, and No Exploitation (NDPE) adalah sebuah kebijakan yang dibuat oleh perusahaan dan harus dipatuhi oleh setiap perusahaan yang menyepakatinya. Kebijakan tersebut dibuat sebagai jawaban atas kerusakan lingkungan yang berujung pada krisis iklim. NDPE telah diadopsi oleh perusahaan produsen, pemasok, hingga pengelola akhir.
Kebijakan ini juga diadopsi oleh investor. Setidaknya 56 lembaga investasi yang mengadopsi standar NDPE di bawah prinsip investasi bertanggung jawab PBB (UN Principles for Responsible Investmen). Prinsip investasi tersebut mewajibkan perusahaan sawit mengadopsi kebijakan NDPE.
Sesuai dengan namanya, kebijakan NDPE, terdapat tiga prinsip. Setiap prinsip tersebut memiliki indikator masing-masing. Saat diadopsi ke dalam P&C RSPO, prinsip tersebut juga saling berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh RSPO. Selengkapnya lihat tabel 3.
Tabel 3. Indikator kebijakan NDPE
Perusahaan seperti Unilever, Pepsico, Johnson and Johnson (J&J), Cargill, Sime Darby, Socfin, IOI Group, Indofood Agri Resources, Wilmar, Musim Mas, Golden Agri-Resources dan masih banyak lagi, telah mengadopsi kebijakan NDPE. Menurut Chain Reaction Research (CRR), kebijakan NDPE telah mencakup 74 persen perusahaan penyulingan di Indonesia dan Malaysia.[6] Selain itu, CRR juga mengidentifikasi 207 kilang penyulingan yang mengadopsi NDPE. Perusahaan tersebut, ada yang berada di USA, Afrika Selatan, UK, Brazil, dan sebagainya, walaupun kapasitas produksinya—jika digabungkan—lebih rendah dibanding Indonesia dan Malaysia.
Semakin banyaknya perusahaan yang mengadopsi kebijakan NDPE, membuat mereka waspada agar tidak melanggarnya serta berusaha mematuhi standar yang ditetapkan RSPO dalam P&C. Menurut CRR,[7] investor dan perusahaan menghadapi risiko investasi yang tinggi apabila pembeli mereka mengadopsi NDPE. Hal ini terkait dengan akses pasar yang berhubungan dengan modal investasi. Tidak menutup kemungkinan CPO mereka tidak laku di pasar internasional karena terbukti melanggar kebijakan NDPE.
Penerapan Kebijakan NDPE
Untuk mengetahui penerapan kebijakan NDPE oleh perusahaan, kami mengumpulkan informasi melalui berita media berita online, temuan-temuan NGO yang fokus mengadvokasi masalah sawit, serta mengunjungi laman perusahaan untuk mengecek apakah mereka mengadopsi NDPE atau tidak.
Informasi yang disajikan Katadata pada 2016, menyatakan bahwa sawit adalah penyebab deforestasi yang paling tinggi. Dari 2001 hingga 2016, perkebunan sawit berkontribusi pada terjadinya deforestasi hingga 23%.[8] Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan industri perkayuan dan pertanian skala kecil, yang menyumbang masing-masing 14% dan 15%.
Pada 28 November 2018, The Gecko Project, bekerja sama dengan Mongabay, Tempo, dan Malaysiakini, menerbitkan laporan investigasi proyek perkebunan besar sawit “Tanah Merah,” Papua.[9] Berdasarkan investigasi tersebut, perusahaan pemegang proyek Tanah Merah mengantongi izin perkebunan di dalam hutan seluas 4.000 kilometer persegi. Dalam hutan tersebut, kemungkinan terdapat berbagai macam spesies invertebrata dan mikro-organisme lainnya yang berguna untuk masa depan. Pun dengan proses pengeluaran izin sangat janggal, serta membuat masyarakat adat yang tinggal di sana merasa terintimidasi.
Tentu saja masih ada masalah lain yang terkait dengan perkebunan sawit. Berdasarkan catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2018, konflik agraria yang paling tinggi adalah sektor perkebunan yaitu, 144 kasus.[10] Konflik perkebunan sawit adalah yang paling tinggi, 83 dari 144 kasus. Setelah perkebunan, konflik agraria urutan kedua terjadi di sektor properti, 137 kasus.
Konflik agraria di perkebunan sawit banyak terjadi karena ekspansi perkebunan yang terus berlangsung. Berdasarkan publikasi Katadata,[11] luas perkebunan sawit Indonesia pada 2019, mencapai 16,3 juta hektare. Luas tersebut bertambah berkali lipat dari luas awal 295 ribu hektare pada 1980. Namun, izin perkebunan sawit yang terdapat di Kementerian Pertanian hanya 14,31 juta hektare. Sementara pendataan luas lahan pada 2018, tercatat sekitar 20 juta hektare izin lokasi perkebunan—pada tahun yang sama Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium izin perkebunan sawit. Luasnya perkebunan sawit tersebut, sekaligus membuat Indonesia menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Pada 2014, Wilmar, Golden Agri-Resources, dan Musim Mas mempengaruhi pendapatan Astra Agro Lestari sebesar 47%.[12] Tiga perusahaan tersebut adalah anggota RSPO sekaligus mengadopsi kebijakan NDPE. Namun, menerima sawit dari Astra Agro Lestari yang sejak 2006 hingga 2014 telah melakukan deforestasi lebih dari 14.000 hektare dan pada 2015 masih melakukan deforestasi di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.[13]
Belum lagi konflik dengan masyarakat sekitar perkebunan yang dimiliki oleh anak perusahaannya—PT Mamuang—di Sulawesi Barat. Sebuah liputan di Mongabay, mengungkapkan bahwa pada Juni 2019, warga di sekitar perkebunan tersebut masuk ke wilayah HGU perusahaan untuk mengklaim kembali tanah itu.[14] PT Mamuang mulai masuk pada 1992 untuk membersihkan lahan. Namun, saat perusahaan itu berdiri, ternyata konflik dengan masyarakat terus terjadi hingga 2019. Setidaknya sudah ada 10 orang warga yang mendekam di penjara ketika melawan perusahaan.
Astra Agro Lestari tidak menjadi anggota RSPO. Namun tersertifikasi melalui sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO). Astra juga mengadopsi kebijakan NDPE dalam aktivitas perusahaannya. Hal ini dapat dilihat dalam kebijakan keberlanjutan perusahaan, serta rencana aksi tiga tahun Astra Agro 2018-2020.[15]
PT Sawit Mas Sejahtera—anak perusahaan Sinar Mas Group—mem-PHK ketua serikat buruh dari GSBI, 08 Januari 2019. Sebelumnya buruh tersebut, ikut menandatangani petisi untuk Presiden agar menyikapi dampak perkebunan sawit terhadap perusakan hutan, perampasan tanah, hingga pelanggaran HAM. Menurut pihak GSBI, PHK tersebut dilakukan tanpa alasan yang jelas.[16] Sinar Mas Group beroperasi di bawah Golden Agri-Resources (GAR) yang terdaftar di RSPO dan mengadopsi NDPE.
Pada 2019, Koalisi Buruh Sawit Indonesia mengeluarkan siaran pers yang berisi tentang berbagai permasalahan yang dialami buruh perkebunan sawit.[17] Upah buruh yang tidak dibayar hingga penunggakan pembayaran BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan oleh perusahaan. Selain itu, tidak ada peraturan yang mengatur hak-hak buruh secara adil. Hal tersebut berujung pada beratnya beban kerja karena menggunakan sistim target tonase, luas lahan, dan jam kerja. Persoalan lain adalah, diskriminasi terhadap buruh perempuan. Misalnya di PT Agro Kati Lama (anak perusahaan SIPEF Group—Belgia), 1200 buruh harian lepas adalah perempuan. Padahal SIPEF terdaftar sebagai anggota RSPO, mengadopsi kebijakan NDPE, serta memiliki kebijakan responsif perkebunan sejak 2014.[18]
Akan tetapi, perusahaan yang melanggar NDPE, produksinya bisa saja ditolak untuk masuk ke rantai pasok. CRR menganalisis dampak keuangan akibat 15 penangguhan bagi perusahaan sawit yang melanggar NDPE—penangguhan pertama 2015—terhadap Sawit Sumbermas Sarana (SSMS), Austindo Nusantara Jaya (ANJ), Tunas Baru Lampung (TBLA), dan Indofood Agri Resources.[19] Laba bersih perusahaan yang ditangguhkan pada 2015, turun sebesar USD 122 juta. Sementara penangguhan yang lebih baru, telah menyebabkan penurunan harga saham yang lebih besar. Mungkin, semakin banyaknya perusahaan penyulingan sawit yang mengadopsi NDPE, membuat pasar CPO non-NDPE menyusut. Akibatnya, perusahaan yang tidak patuh terhadap NDPE, kehilangan pasar.
Procter & Gamble (P&G), sebuah perusahaan barang yang berpusat di Cincinnati, Ohio, terancam kehilangan pemasukan sebesar USD 14 miliar karena risiko reputasinya.[20] P&G adalah perusahaan multinasional yang berkomitmen dengan NDPE, namun, sebagian besar minyak sawitnya diperoleh dari CPO tidak bersertifikasi. Risiko tersebut ada karena, 15 perusahaan pemasoknya terlibat aktif melakukan penebangan hutan dan aktif beroperasi di lahan gambut. Namun, menurut CRR, P&G beranggapan kalau pemasok yang tidak patuh masuk melalui rantai pasok Wilmar dan Musim Mas. Temuan CRR justru menunjukkan bahwa Perusahaan yang tidak patuh tetap berada di dalam rantai pasok P&G.
Bisakah Kebijakan NDPE Digunakan Untuk Mendorong Produksi Biofuel Berkelanjutan?
Penerapan NDPE yang kami paparkan sebelumnya memperlihatkan dampak buruk bagi perusahaan yang tidak patuh dengan kebijakan tersebut. Pertama, perusahaan kehilangan pasar karena rantai pasoknya diblokir. Kedua, bagi perusahaan yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku juga terancam jika menggunakan CPO yang tidak bersertifikat. Perusahaan akan kehilangan reputasi yang dapat berujung pada hilangnya akses pasar. Singkatnya, perusahaan yang tidak patuh dengan NDPE, akan merugi.
Penerapan NDPE sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan tersebut memiliki nilai tawar untuk mendorong perusahaan memproduksi biofuel bersih. Hanya saja, tidak semua perusahaan sawit mengadopsi kebijakan tersebut. Begitu juga dengan penerapan yang setengah hati dari perusahaan yang mengadopsi NDPE. Akibatnya jual beli CPO yang tidak memenuhi standar NDPE masih berlangsung di Indonesia maupun di negara lain.
Pada awal 2020, minyak sawit non-NDPE dari Indonesia, telah menemukan pasar baru di India. Pasar minyak sawit non-NDPE di India semakin besar setelah memboikot CPO dari Malaysia—menurut Pemerintah India, boikot tersebut tidak resmi. India adalah pengimpor minyak sawit terbesar dari Indonesia dan Malaysia, yang sebagian besar kilang minyaknya tidak mematuhi NDPE. Studi CRR menunjukkan bahwa 58 persen impor CPO India adalah milik perusahaan penyulingan non-NDPE.[21] Perusahaan Indonesia termasuk Sumbermas Sawit Sarana dan Austindo Nusantara Jaya, yang diboikot oleh pasar NDPE, kembali menemukan pasar untuk minyak sawit non-NDPE di India.
Selain di India, Tunas Baru Lampung, kini tetap mendapat pasar di Indonesia. Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, Tunas Baru Lampung menjadi pemasok biodiesel Pertamina 2020. Perusahaan lain yang tidak berkomitmen dengan NDPE namun menjadi pemasok Pertamina adalah, Duta Palma/Darmex Agro dan Best Group. Menurut Earthqualizer, terdapat 25% perusahaan pemasok biodiesel Pertamina 2020, yang tidak memiliki kebijakan NDPE.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak serius untuk menggunakan energi terbarukan dan mengurangi emisi. Agar program biofuel berjalan baik, pemerintah seharusnya menggunakan biodiesel yang diproduksi sesuai standar NDPE. Bukan malah menerima biodiesel yang tidak memenuhi standar NDPE serta pasarnya sudah diblokir dari pasar internasional.
Walau masih terdapat berbagai soal dalam penerapannya, kebijakan NDPE maupun P&C RSPO adalah suatu kemajuan. Persoalan tersebut adalah wujud dari lemahnya penegakan kebijakan dalam perusahaan untuk keberlanjutan lingkungan. Agar kebijakan NDPE dapat digunakan untuk mendorong produksi biofuel berkelanjutan, penting untuk menggalang kampanye yang lebih luas. Hal ini diperlukan, agar masyarakat umum tahu tentang persoalan yang terkait dengan biofuel. Tentu saja desakan dari masyarakat luas akan mempengaruhi penegakan kebijakan keberlanjutan lingkungan tersebut.
Pemerintah juga harus terlibat aktif dalam mendorong produksi biofuel bersih di Indonesia. Walau NDPE adalah kebijakan perusahaan yang bukan merupakan peraturan buatan negara, prinsip dalam NDPE sebenarnya sudah ada dalam berbagai Undang-Undang Indonesia. Misalnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia—dengan prinsip Leave No One Behind.
Pemerintah juga harus mendorong semua perusahaan yang menjadi pemasok biodiesel Indonesia untuk mengadopsi dan menjalankan kebijakan NDPE. Dorongan tersebut dapat dilakukan dengan tidak menggunakan biodiesel yang berasal dari perusahaan non-NDPE, sampai mereka menjalankannya. Selain itu, pemerintah harus memperketat pengawasan perusahaan perkebunan agar berjalan sesuai dengan kebijakan negara dan standar-standar internasional yang sudah ditetapkan untuk mewujudkan biofuel berkelanjutan.
Terakhir, penting juga kami katakan bahwa, penegakan kebijakan NDPE hanya pada satu persoalan. Tidak meluas ke persoalan lain, misalnya biofuel dan ketahanan pangan. Hal ini tidak akan kami bahas di sini, namun menjadi pendiskusian selanjutnya.
Catatan:
Disusun bersama Agus Sutomo (Earthqualizer) pada 19 Februari 2020 dan diterbitkan di website Koalisi Clean Biofuel for All (cleanbiofuelforall.com) pada 20 Februari 2020. Diterbitkan kembali tanpa perubahan.
Referensi:
[1] Stanly Ravel, “Jokowi Resmikan Solar B30, Tahun Depan Berlanjut ke B40,” Kompas.com, 23 Desember 2019, diakses 12 Februari 2020, https://otomotif.kompas.com/read/2019/12/23/163314815/jokowi-resmikan-solar-b30-tahun-depan-berlanjut-ke-b40
[2] Chandra Gian Asmara, “Jokowi Bodo Amat Soal CPO: Eropa Gak Pakai, RI Pakai Sendiri!” CNBC Indonesia, 23 Desember 2019, diakses 12 Februari 2020, https://www.cnbcindonesia.com/news/20191223125204-4-125206/jokowi-bodo-amat-soal-cpo-eropa-gak-pakai-ri-pakai-sendiri
[3] “Produksi Biodiesel 2009-2018 Meningkat 3000 persen,” Katadata.co.id, 09 Januari 2020, diakses 12 Februari 2020, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/09/produksi-biodiesel-2009-2018-meningkat-3000-persen
[4] “Tabel Produksi dan Distribusi hasil rekonsiliasi EBTKE Biodiesel 2019,” APROBI, diakses 17 Februari 2020, http://www.aprobi.or.id/data-produksi-dan-distribusi-biodiesel/
[5] Adi Ahdiat, “5 Alasan Uni Eropa Tolak Biodiesel Sawit,” Kbr.id, 21 Maret 2019, diakses 12 Februari 2020, https://kbr.id/nasional/03-2019/5_alasan_uni_eropa_tolak_biodiesel_sawit/98992.html
[6] “Unsustainable Palm Oil Faces Increasing Market Access Risks – NDPE Sourcing Policies Cover 74 Percent of Southeast Asia’s Refining Capacity (Updated Version),” Chain Reaction Research, 01 November 2017, diakses 14 Februari 2020, https://chainreactionresearch.com/report/unsustainable-palm-oil-faces-increasing-market-access-risks-ndpe-sourcing-policies-cover-74-percent-of-southeast-asias-refining-capacity/
[7] “The Chain: NDPE Uptake Impacts List of Top 10 Deforesters in SE Asia,” Chain Reaction Research, 06 Februari 2019, diakses 14 Februari 2020, https://chainreactionresearch.com/the-chain-continued-uptake-of-ndpe-policies-a-key-factor-in-reducing-deforestation-rates-in-se-asia/
[8] Arie Mega Prastiwi (Edt.), “Ironi di Balik Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit,” Katadata.co.id, 26 September 2019, diakses 12 Februari 2020, https://katadata.co.id/infografik/2019/09/26/ironi-di-balik-ekspansi-perkebunan-kelapa-sawit
[9] The Gecko Project dan Mongabay, “The secret deal to destroy paradise,” Mongabay, 28 November 2018, diakses 12 Februari 2020, https://news.mongabay.com/2018/11/the-secret-deal-to-destroy-paradise/
[10] Vincent Fabian Thomas, “KPA: Konflik Agraria di Sektor Perkebunan Tinggi Karena Sawit,” Tirto.id, 03 Januari 2019, diakses 12 Februari 2020, https://tirto.id/kpa-konflik-agraria-di-sektor-perkebunan-tinggi-karena-sawit-ddcL
[11] “Banyak ‘Pekerjaan Rumah’ di Perkebunan Sawit,” Katadata.co.id, 23 Desember 2019, diakses 12 Februari 2020, https://katadata.co.id/berita/2019/12/23/banyak-pekerjaan-rumah-di-perkebunan-sawit.
[12] Albert ten Kate dan Adriani Zakaria, “Penilaian kesinambungan Astra Agro Lestari,” Aidenvironment (Mei 2015), https://d5i6is0eze552.cloudfront.net/documents/Publikasjoner/Andre-rapporter/Astra-Agro-Lestari-report-IND-Final-ID-14680-2.pdf?mtime=20150905184339
[13] Albert ten Kate dan Adriani Zakaria, id. [14] Eko Rusdianto, “Konflik Lahan antara Warga dan Perusahaan Sawit Astra Tak Kunjung Usai,” Mongabay.co.id, 02 September 2019, diakses 12 Februari 2020, https://www.Mongabay.co.id/2019/09/02/konflik-lahan-antara-warga-dan-perusahaan-sawit-astra-tak-kunjung-usai/
[15] “Kebijakan Keberlanjutan,” Astra Agro Industri, https://www.astra-agro.co.id/kebijakan-keberlanjutan/
[16] “Sinarmas Group PHK Ketua Serikat SBPKS GSBI PT SMS Lahat karena Ikut Tandatangan Surat Terbuka kepada Presiden RI dan Uni Eropa soal Sawit,” Gabungan Serikat Buruh Indonesia, 09 Januari 2019, diakses 14 Februari 2020, https://www.infogsbi.or.id/2019/01/sinarmas-group-phk-ketua-serikat-sbpks.html
[17] “Siaran Pers Koalisi Buruh Sawit untuk Hari Buruh Internasional 2019,” Sawit Watch, 28 April 2019, diakses 17 Februari 2020, http://sawitwatch.or.id/wp-content/uploads/2019/04/FINAL_Press-Release-Koalisi-Buruh-Sawit-untuk-Mayday-2019.pdf
[18] “Sustainable Aproach,” SIPEF, diakses 17 Februari 2020, https://www.sipef.com/hq/sustainability/sustainable-approach/
[19] “Palm Oil Growers Suspended Over Deforestation Lose USD 1.1B in Equity Value,” Chain Reaction Research, 30 Agustus 2019, diakses 17 Februari 2020, https://chainreactionresearch.com/report/palm-oil-growers-suspended-over-deforestation-lose-usd-usd-1-1b-in-equity-value/
[20] “Procter & Gamble’s Deforestation Exposure May Affect Reputation,” Chain Reaction Research, 15 November 2019, diakses 17 Februari 2020, https://chainreactionresearch.com/report/procter-gamble-deforestation-exposure-may-affect-reputation/
[21] “The Chain: India’s Boycott of Malaysian Palm Oil May Lead to Higher Imports from non-NDPE Sellers in Indonesia,” Chain Reaction Research, 24 Januari 2020, diakses 17 Februari 2020, https://chainreactionresearch.com/the-chain-indias-boycott-of-malaysian-palm-oil-may-lead-to-higher-imports-from-non-ndpe-sellers-in-indonesia/