Glifosat adalah herbisida yang banyak digunakan oleh petani untuk membasmi gulma, selain parakuat. Namun, sekarang, parakuat di Indonesia sudah masuk dalam daftar pestisida terbatas. sementara glifosat belum dimasukkan dalam daftar itu. Makanya masih dijual bebas di pedagang eceran. Padahal, glifosat tak jauh berbeda dengan parakuat, non-selektif serta berdampak terhadap kesehatan dan lingkungan.
Saya bertanya kepada bapak saya tentang herbisida yang ia gunakan untuk membasmi gulma di sawah. Sekarang, katanya, ia sering menggunakan Posat (salah satu merek dagang yang berbahan aktif glifosat). Kalau bukan Posat, ia menggunakan Gramoxone (merek dagang Syngenta, yang berbahan aktif parakuat diklorida). Sementara salah seorang teman yang saya tanya dengan pertanyaan yang sama, Adi namanya, ia lebih suka menggunakan Rambo (merek dagang yang berbahan aktif glifosat). Selain itu ada pula Roundup, Nufaris, dan Sidalaris, dan lainnya, yang juga berbahan aktif glifosat.
Penggunaan glifosat untuk membasmi gulma memang terbukti efektif. Hal itulah yang membuatnya digunakan oleh petani, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, khususnya negara berkembang yang masih mengandalkan pertaniannya. Akan tetapi, penggunaan glifosat tanpa berhati-hati akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Tak hanya petani padi atau jagung, glifosat maupun parakuat, juga banyak digunakan di perkebunan sawit, karet, dan lainya. Penggunaan herbisida secara terus menerus di perkebunan, memebuat buruh semprot dapat terpapar langsung oleh herbisida. Dari tulisan Kartika Sari (PROGRESS Palangkaraya, 2017), buruh penyemprot di perkebunan kelapa sawit jarang diberi pelatihan dan seragam yang aman saat bekerja. Akibatnya, salah seorang buruh mengalami cedera mata karena paparan parkuat. Selain itu, dampak dari herbisida tersebut adalah gatal-gatal karena iritasi. Padahal parakuat sudah digolongkan sebagai pestisida berbahaya dan terbatas. Sebagian negara justeru melarang pemakaian parakuat.
Sedangkan glifosat, sekarang masih dianggap sebagai herbisida yang aman dan dijual bebas di pasaran. Dalam Permentan No. 39 tahun 2015, glifosat bukanlah pestisida terbatas. Akan tetapi, International Agency for Research on Cancer (IARC) sebagai lembaga di bawah WHO mengklasifikasikan glifosat sebagai herbisida yang “mungkin karsinogen”. Pesticide Action Network sejak 2015 memasukkan glifosat sebagai pestisida yang sangat berbahaya.
Gugatan Terhadap Monsanto dan Dampak Glifosat pada Lingkungan
Temuan WHO yang mengaitkan glifosat dengan kanker, membuat korporasi besar yang berlokasi di Amerika, Monsanto (sekarang menjadi anak perusahaan Bayer), dibanjiri gugatan perdata. Merek dagang Monsanto, Roundup, tahun lalu diputuskan oleh pengadilan Amerika, bahwa peroduk tersebut menyebabkan kanker. Dari berita The Guardian, Gugatan Dewayne Johnson terhadap Monsanto dimenangkan oleh pengadilan, sehingga Monsanto harus membayar 289 juta dollar. Monsanto juga masih harus menghadapi ribuan gugatan lainnya.
De Roos dkk (2005), dalam penelitiannya, mengatakan bahwa penggunaan glifosat tidak ada hubungannya dengan sebagian besar kanker, namun tetap merekomendasikan untuk memeriksa hubungan paparan glifosat dengan kanker yang lebih spesifik. Sedangkan, Richard dkk (2005), dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa pengenceran Roundup dapat menimbulkan masalah pada endokrin, dan pada dosis yang lebih tinggi toksisitasnya dapat menyebabkan beberapa masalah reproduksi.
Monsanto bukan hanya kalah satu kali di pengadilan, setidaknya ia kalah dalam tiga gugatan. Dalam berita The Guardian, karena produknya, Roundup, Monsanto kembali dikalahkan, dan harus membayar ganti rugi masing-masing 1 miliar dolar kepada Alva dan ALberta Pilliod yang menderita Limfoma non-Hodgkin.
Tapi, pihak Monsanto (Bayer) tetap bersikukuh bahwa produknya aman asal digunakan dengan sesuai petunjuk. Pernyataan tersebut didukung oleh The Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, yang menganggap bahwa Roundup aman digunakan asal sesuai dengan petunjuk penggunaan. Dalam berita yang sama, EPA juga mengakui bahwa penggunaan glifosat menimbulkan bahaya ekologis.
PAN Eropa (2018), dalam sebuah laporannya, menjelaskan bahwa glifosat yang bersifat sistemik non-selektif, membuatnya bekerja pada semua spesies, sehingga menimbulkan dampak langsung dan tidak langsung pada berbagai spesies termasuk ikan, katak, siput, serangga, dan mikroba tanah. Dampaknya secara tidak langsung adalah mematikan semua gulma yang memiliki manfaat pada agroekosistem. Selain itu, dalam sumber yang sama disebutkan, glifosat yang bersifat non-selektif, mengancam pengendalian hama oleh predator alami mereka, serta layanan penyerbukan serangga.
Akibatnya, gangguan ekologis tersebut, menyulitkan petani yang beralih dari sistem pertanian konvensional ke pertanian ramah lingkungan. Lebih lanjut, Menurut PAN Eropa, pemakaian terus menerus akan semakin merusak dan membuat petani harus menambah pemakaian fungisida dan pestisida yang justru semakin merusak tanah.
Menggunakan Glifosat Secara Hati-Hati
Perbedaan pandangan antara EPA di Amerika Serikat dengan IARC dan European Food Safety Authority (EFSA) dengan IARC, tentang glifosat, tentu saja menjadi masalah tersendiri. Namun, yang penting, dilihat di sini adalah hasil-hasil penelitian, termasuk temuan IARC, yang menyimpulkan bahwa glifosat kemungkinan karsinogen. Dan, tentu saja gugatan terhadap Monsanto-Bayer, yang dianggap menyebabkan petani menderita kanker Limfoma non-Hodgkin.
Pada konverensi para pihak yang dilaksanakan bersamaan (konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm) pada 29 April sampai 10 Mei 2019, PAN Asia Pasifik mendorong para pihak untuk memasukkan parakuat ke dalam annex III, dan mendorong agroekologi sebagai alternatif pertanian. Akan tetapi, dengan pertimbangan bahwa parakuat masih banyak digunakan, akhirnya gagal dimasukkan. Sedangkan glifosat, tetap menjadi herbisida yang dijual bebas di pasaran, terlepas dari perdebatan tentang efek karsinogen yang dihasilkan.
Akan tetapi, demi menghindari dampak buruk bagi kesehatan yang bisa saja dihasilkan dalam penggunaan glifosat, penting untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian. Pada dasarnya prinsip kehati-hatian mengedepankan upaya meminimalisir dampak yang bisa saja terjadi, walaupun terdapat keterbatasan pengetahuan dan teknologi. Prinsip tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Saat ini, petani di banyak pedesaan, ketika menyemprot kebun atau sawahnya dengan glifosat, kebanyakan tidak menggunakan perlengkapan yang aman. Tentu saja, itu terjadi karena pengetahuan tentang penggunaan glifosat yang tidak memadai. Maka, diperlukan penyuluhan kepada petani tentang penggunaan glifosat. Hal tersebut dilakukan agar bisa meminimalisir atau bahkan mencegah dampak yang bisa saja terjadi karena penggunaan glifosat.
Biasanya, penggunaan herbisida, memang terdapat petugas dari pihak yang punya merek dagang yang memberikan pelatihan penggunaan herbisida miliknya. Akan tetapi, pelatihan tersebut hanya dilakukan ketika ada merek herbisida baru yang sedang dipromosikan. Setelah itu, tidak ada lagi pelatihan. Saya pribadi, tidak pernah melihat penyuluh pertanian, memberikan penjelasan terkait penggunaan herbisida, khususnya glifosat dan parakuat.
Namun, penggunaan glifosat secara hati-hati, bukan berarti menyelesaikan persoalan lingkungan. Sifat glifosat yang mematikan semua gulma dan mempengaruhi berbagai spesies seperti burung dan serangga, membuat kita seharusnya segera mencari alternatif. Tentu saja, alternatif tersebut harus sesuai dengan tujuan pembangunan yang benar-benar berkelanjutan.
Alternatif dari penggunaan pestisida atau pun herbisida, yang selama ini dikampanyekan oleh PAN Asia Pasifik, adalah agroekologi. Agroekologi menurut PAN Asia Pasifik, sejalan dengan tujuan pembanguna berkelanjutan, karena menekankan pada penggunaan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan. Yang paling banyak dipraktikkan sekarang adalah pertanian organik.
Beberapa orang kawan yang mempraktikkan pertanian organik di kebunnya, berpendapat bahwa, model tersebut lebih bagus. Selain itu, kembali memancing agar predator alami seperti capung, kembali bermunculan. Dan tentu saja, model pertanian organik, menekan pengeluaran untuk membeli pupuk, herbisida, dan lainnya. Tentu saja berbeda ketika menggunakan model pertanian yang umum digunakan sejak revolisi hijau di Indonesia.
Namun, sebaik-baiknya model pertanian organik atau agroekologi yang dikampanyekan PAN Asia Pasifik, tetap tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung kuat oleh pemerintah. Model pertanian tersebut juga harusnya dikampanyekan secara luas, baik melalui gerakan CSO, maupun para penyuluh pertanian. Jika alternatif yang ada tidak digunakan, maka penggunana herbisida khususnya glifosat dan parakuat akan tetap berlangsung. Jadi, selama selama kita masih menggunakan glifosat dan parakuat, maka selama itu pula kita harus berhati-hati terhadapnya.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera). Diterbitkan pertama kali pada 26 Juli 2019 di blog pribadi. Diterbitkan kembali dengan beberapa penyuntingan.